Wayang Kulit,
Mahakarya Seni Pertunjukan Jawa
Malam di
Yogyakarta akan terasa hidup jika anda melewatkannya dengan melihat wayang
kulit. Irama gamelan yang rancak berpadu dengan suara merdu para sinden takkan
membiarkan anda jatuh dalam kantuk. Cerita yang dibawakan sang dalang akan
membawa anda larut seolah ikut masuk menjadi salah satu tokoh dalam kisah yang
dibawakan. Anda pun dengan segera akan menyadari betapa agungnya budaya Jawa di
masa lalu.
Wayang kulit
adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium.
Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa.
Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber
yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena
wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat
untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni
rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat
bayangan.
Pagelaran
wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik
terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang
memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan
berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging
(ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan
guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh
musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Tokoh-tokoh
dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak
dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat
dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada
di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan
wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan
orang-orangan yang sedang dimainkan.
Setiap
pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon
terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan
lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada
perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja
yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada
cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan
wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
Cerita
wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata,
Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat
lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat
Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua
kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan
oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai
ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam
suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan)
dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran
dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga
yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara
Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan
perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap
pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.
Namun sayang sajian hiburan tontonan yang satu ini
(wayang kulit jawa) untuk kalangan anak muda (apalagi di perkotaan) sepertinya jaman sekarang apalagi teknologi yang terus bergulir seni budaya yang satu ini sudah jauh untuk tidak menyukainya bahkan nyaris tidak
kenal nama-nama tokoh pewayangan tersebut. Dikecualikan bagi penggemar kalangan
orang tua yang memang selain hiburan rakyat, juga dikarenakan memiliki nilai
filosofi dari lakon dan peran setiap babak cerita yang dimainkan.
Dengan mengajarkan seni dan budaya kita ke orang lain, maka semakin banyak orang yang mengetahui mengenai seni dan budaya daerah sendiri maupun seni dan budaya daerah lain.
*** Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
*** Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia
Abhinaya – Ekspresi adalah semangat
Abhipraya – Harapan mengubah tantangan menjadi ...
Abhirama – Senang yang menyenangkan