KakanG SeraYu

KakanG SeraYu
Sugeng Rawuh ....

Jumat, 21 Juni 2013

Pertunjukan atau Pagelaran Wayang Kulit Jawa

Wayang Kulit, Mahakarya Seni Pertunjukan Jawa

Malam di Yogyakarta akan terasa hidup jika anda melewatkannya dengan melihat wayang kulit. Irama gamelan yang rancak berpadu dengan suara merdu para sinden takkan membiarkan anda jatuh dalam kantuk. Cerita yang dibawakan sang dalang akan membawa anda larut seolah ikut masuk menjadi salah satu tokoh dalam kisah yang dibawakan. Anda pun dengan segera akan menyadari betapa agungnya budaya Jawa di masa lalu.

Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan.

Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.

Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.

Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.

Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.

Namun sayang sajian hiburan tontonan yang satu ini (wayang kulit jawa) untuk kalangan anak muda (apalagi di perkotaan) sepertinya jaman sekarang apalagi teknologi yang terus bergulir seni budaya yang satu ini sudah jauh untuk tidak menyukainya bahkan nyaris tidak kenal nama-nama tokoh pewayangan tersebut. Dikecualikan bagi penggemar kalangan orang tua yang memang selain hiburan rakyat, juga dikarenakan memiliki nilai filosofi dari lakon dan peran setiap babak cerita yang dimainkan.

Dengan mengajarkan seni dan budaya kita ke orang lain, maka semakin banyak orang yang mengetahui mengenai seni dan budaya daerah sendiri maupun seni dan budaya daerah lain.

*** Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
*** Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia

Abhinaya – Ekspresi adalah semangat
Abhipraya – Harapan mengubah tantangan menjadi ... 
Abhirama – Senang yang menyenangkan



















Jumat, 14 Juni 2013

Yen Ing Tawang Ono Lintang

Makna Sebuah Alunan Lagu dan Gending Jawa

Apakah anda pernah mendengar lagu ’Yen neng tawang ana lintang dengan gending jawa yang dibawakan oleh Waljinah atau Manthous? Tentu sebagaian orang atau yang memang kenal dengan musik gending jawa tersebut sangat dalam maknanya.
Ketika mendengarkan musik lantunana jawa yang dibawakan oleh Waljinah itu suasana nan syahdu ketika mendengarnya sangat terasa ketika seseorang merasakan indahnya jatuh cinta. Sungguh elok liriknya, bukan cinta yang syarat dengan nafsu dan egoisme tinggi, lagu itu mengisyaratkan bahwa ketika manusia (khususnya manusia jawa) dengan kelembutan dan kesopanan yang adiluhung menggetarkan seluruh sel-sel dalam tubuh bahkan tanpa perjumpaan pun seseorang dapat merindu sangat dalam sungguh sangat dirasakan dalam alunan musik itu.
Penggalan liriknya: ’’Yen neng tawang ana lintang, aku ngenteni sliramu, cah ayu, dengarkankah tangisan hati, menggema suara lirihnya’’ (ketika ada bintang di langit, aku menanti kedatanganmu, cantik. dengarkanlah tangisan hati, menggema suara lirihnya)

Ada kesan yang sangat anggun dan suci dalam cerita percintaan yang tersirat dari lagu tersebut. Ketika seseorang kekasihnya menunggu kedatangan sang kekasihnya yang sekian lama tak kunjung datang, hanya bisa berbicara pada bintang-bintang yang ada di langit teringat ketika janji-janji yang telah diucapakan.
Sebenarnya tak lain sama halnya cerita percintaan yang sering dialami oleh jiwa-jiwa manusia, namun yang membedakan dengan gaya musik yang ’’njawani’’ dengan tata krama bahasanya luhur, sangat mengesankan.
Tak kan lekang oleh waktu lagu itu, walaupun tergerus arus globalisasi yang kian menerpa yang banyak tergerus dengan musik-musik remix, lagu korea bahkan gaya-gaya ala korea (bisa rambut, lagu-lagu yang dibuat dengan model boyband, grilband dsb) ya memang tak dapat dipungkiri adakalanya kaum muda sekarang sudah menggemari lagu-lagu luar negeri ya tidak semua tentunya. Yang dengan demikian akan mudah saja tergerus keribadian bangsa Indonesia khusunya kaum muda, yang condong kebarat-batatan padahal musik-musik Indonesia akan lebih mampu menumbuhkan karakter-karakter bangsa Indonesia walaupun itu musik daerah (dengan bahasa daerahnya masing-masing) dari berbagai musik di nusantara maupun musik Indonesia (musik nasional dengan bahasa Indonesia).

Tembang jawa tersebut hanya salah satu contoh saja dengan tembang dan alat musik khas daerah tentu di seluruh nusantara ini pasti mempunyai karakteristiknya masing-masing yang tentu sangat pas ditelinga dan hati yang mendengarnya.

Dengan mengajarkan seni dan budaya kita ke orang lain, maka semakin banyak orang yang mengetahui mengenai seni dan budaya daerah sendiri maupun seni dan budaya daerah lain.


*** Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
*** Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia

Abhinaya – Ekspresi adalah semangat
Abhipraya – Harapan mengubah tantangan menjadi ... 
Abhirama – Senang yang menyenangkan
















Musik Klasik Gending Jawa


Nguri-Uri Seni Budaya Daerah

Tradisi budaya Jawa jaman dahulu selalu berprinsip pada keselarasan alam semesta. Dalam kehidupan sehari-hari, para orang tua mengajarkan anak-anaknya lewat tembang atau nyanyian. Dengan syair berisi nilai-nilai falsafah hidup, pitutur atau nasihat, pengajaran moral ini ditanamkan lewat lagu-lagu yang diselaraskan dengan alam dan keadaan sekitarnya.
Gendingan diciptakan sebagai ungkapan keselarasan manusia dan penciptanya. Ini diwujudkan dalam tindakan sehari-hari dengan memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan bertindak. Dalam gamelan hal tersebut diwujudkan pada tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron, kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Ada berjenis-jenis gendingan, ada yang khusus dan ada yang umum. Yang umum adalah yang hadir di masayarakat kebanyakan, dengan tembang-tembang kehidupan sehari-hari. Sedangkan yang khusus adalah dimainkan pada waktu-waktu tertentu. Contohnya pada saat upacara pernikahan, saat mengiringi pengantin masuk diiringi dengan tembang “Kebo Giro”, saat mempelai saling bertemu diiringi dengan tembang “Kodok Ngorek”. Ada lagi, pada acara-acara khusus di kerajaan/kesultanan. Gendingan dimainkan secara khusus, dengan syair khusus dan juga gamelan yang khusus. 

Gamelan, adalah alat musik gendingan, diambil dari bahasa Jawa gamel” yang berarti memukul/menabuh. Jadi gamelan mempunyai arti sebagai satu kesatuan alat musik yang ditabuh/dipukul untuk dimainkan bersama. Seperangkat alat musik ini terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking/ Gamelan, Kenong & Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab, Siter, Suling.
Mengenai sejarah terciptanya gamelan sendiri masih simpang siur. Namun dipastikan bahwa gamelan diciptakan pada saat budaya Hindu – Budha dari India berjaya di Indonesia. Ini dibuktikan dengan adanya data-data pada relief Candi Borobudur dan kitab-kitab kesusastraan yang menjadi petunjuk tentang keberadaan gamelan ini. Dalam perkembangannya, gamelan mengalami banyak perubahan menjadi semakin baik hingga seperti sekarang, tetapi tetap mencirikan budaya bawaanya yang sampai sekarang masih menjadi ciri khas gendingan ini, salah satunya adalah istilah bagi penyanyinya, yaitu Wiraswara untuk penyanyi pria, dan Waranggana untuk penyanyi wanita.

Menurut Mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dengan alat musik gamelan pertama yang diciptakan adalah “Gong” yang berfungsi sebagai pemanggil para dewa. Kemudian berkembang sebagai penyampai pesan, dimana alat musiknya pun bertambah.
Saat ini gendingan sudah mendunia, dikenal luas di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Canada. Tentunya sebagai generasi pewaris budaya, kita harus lebih peduli menjaga dan melestarikan kekayaan tradisional leluhur. 
Kitalah yang harusnya lebih mencintai dibandingkan bangsa lain.

Dengan mengajarkan seni dan budaya kita ke orang lain, maka semakin banyak orang yang mengetahui mengenai seni dan budaya daerah sendiri maupun seni dan budaya daerah lain.

*** Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
*** Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia

Abhinaya – Ekspresi adalah semangat
Abhipraya – Harapan mengubah tantangan menjadi ... 
Abhirama – Senang yang menyenangkan